GpWlTUM5GUziTUW8BSW9GfriGd==

Sultan Pontianak Ke-IX dan Anggota DPD RI Dapil Kalbar Angkat Bicara Mengenai Pulau Pengikik


Tinta Rakyat Nusantara.Com, Pontianak, Kalimantan Barat - “Kontrak Kolonial 1857 Tidak Sah Jadi Dasar Penegasan Wilayah: Pulau Pengikik Harus Kembali ke Kalimantan Barat”

Polemik status Pulau Pengikik antara Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau kembali mencuat, menyusul ditemukannya rujukan pada dokumen kolonial Belanda tahun 1857 dalam Pasal 20 ayat (8) Perda Kabupaten Bintan Nomor 19 Tahun 2007.

Syarif Melvin Alkadrie, S.H., Sultan Pontianak Ke-IX sekaligus Anggota DPD RI Dapil Kalimantan Barat, menyatakan sikap tegas bahwa kontrak kolonial tidak dapat dijadikan dasar hukum dalam penetapan batas wilayah negara. "Penegasan wilayah administratif Indonesia tidak boleh berdasarkan dokumen kolonial, melainkan harus tunduk pada konstitusi, hukum nasional, serta dokumen sejarah kemerdekaan yang sah," tegasnya dalam pernyataan resmi di Istana Kadriah, Pontianak (11/7/2025).

Pulau Pengikik, Warisan Kesultanan Pontianak, Bukan Bagian Bintan

Pasal 20 ayat (8) Perda No.19 Tahun 2007 menyebut batas timur Kecamatan Tambelan Kabupaten Bintan adalah "Pulau Datok". Namun dalam pelaksanaan administratif dan peta wilayah, diduga secara terselubung dimasukkan Pulau Pengikik. Hal ini dinilai sebagai bentuk "penyelundupan norma hukum", karena tidak konsisten antara teks pasal dan peta di lapangan.

Syarif Melvin mengingatkan bahwa Pulau Pengikik secara historis merupakan bagian dari jalur niaga Kesultanan Pontianak dan tercatat dalam wilayah Keresidenan Westerafdeeling van Borneo sejak masa Hindia Belanda. Posisi ini ditegaskan kembali dalam Protokol Hukum Internasional 21 Desember 1949 sebagai lampiran pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada 27 Desember 1949.

Perda Kabupaten Bintan Dinilai Cacat Hukum

Menurut Sultan Pontianak, Perda Kabupaten Bintan No. 19 Tahun 2007 cacat secara yuridis karena:

  • Tidak mengacu pada peraturan nasional seperti Permendagri No.141/2017 dan Peta BIG;
  • Menggunakan istilah geografis tanpa dasar hukum administratif resmi;
  • Menyisipkan wilayah yang belum disepakati dalam berita acara yang sah antara Kalbar dan Kepri;
  • Bertentangan dengan prinsip otonomi daerah dan hukum tata negara.

"Penetapan wilayah tak bisa dilakukan sepihak oleh perda kabupaten, apalagi atas wilayah yang belum diverifikasi statusnya secara nasional," jelasnya.

Kekuatan Sejarah dan Konstitusi di Pihak Kalbar

Melvin menyampaikan, secara historis dan administratif, Pulau Pengikik masuk dalam wilayah Kabupaten Pontianak (sekarang Mempawah) dan bagian dari Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) yang diakui dalam Protokol KMB 1949. Oleh karena itu, klaim Kepulauan Riau atas pulau tersebut dinilai lemah.

Ia juga mengkritisi penggunaan kontrak "met den Sulthan van Lingga, Riouw en Onderhoorigheden, 1 Desember 1857" yang dijadikan pembenaran sejarah oleh Bintan. "Kontrak itu adalah bentuk perjanjian penaklukan kolonial, dibuat dalam dominasi penjajah dan secara hukum tidak berlaku dalam sistem hukum Indonesia modern," tegasnya.

Langkah Hukum dan Tuntutan DPD RI

Sultan Pontianak mendorong langkah-langkah konkret, antara lain:

  1. Dengar pendapat DPD RI dengan Kemendagri dan BIG;
  2. Pembentukan Tim Kajian Sejarah, Geospasial dan Tata Negara;
  3. Uji materiil terhadap Perda Bintan No.19/2007 ke Mahkamah Agung;
  4. Revisi data wilayah dan kodefikasi administratif di pusat.

Ia menegaskan bahwa seluruh langkah akan ditempuh secara konstitusional demi mempertahankan kedaulatan wilayah Kalimantan Barat.

Dukungan Wakil Gubernur Kalbar

Pernyataan ini mendapat penguatan dari Wakil Gubernur Kalbar, Krisantus Kurniawan, yang menyatakan sedang mempelajari masalah ini secara serius. Dalam wawancara dengan Inside Pontianak (11/7/2025), ia berjanji akan mengambil langkah hukum apabila terbukti Pulau Pengikik milik Kalbar.

"Langkah Pemprov Kalbar menunjukkan sikap kehati-hatian sekaligus ketegasan untuk membela hak konstitusional daerah," tambah Melvin.

Penutup: Uti Possidetis dan Integritas Wilayah NKRI

Syarif Melvin menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa prinsip uti possidetis juris dalam hukum internasional, yaitu batas wilayah saat merdeka menjadi batas sah negara baru, sepenuhnya mendukung posisi Kalimantan Barat.

“Pulau Pengikik bukan hanya soal geografi, ini tentang kehormatan sejarah, hukum, dan integritas Republik,” pungkasnya.

(Dwi-Red)
Sumber: Sultan Pontianak Ke-IX dan Anggota DPD RI Dapil Kalbar, Syarif Melvin AlQadri. SH

Komentar0

Type above and press Enter to search.