Tinta Rakyat Nusantara.Com, Banda Aceh - Pada tanggal 17 Mei 2025, Puji Raharjo
Deputi Koordinasi Layanan Haji Dalam Negeri Badan Penyelenggara Haji RI berkesempatan mendampingi Kepala Badan Penyelenggara Haji Republik Indonesia, Dr. KH. Moch. Irfan Yusuf, dalam melepas Kloter Pertama Jemaah Haji asal Provinsi Aceh dari Embarkasi Banda Aceh. Momen ini tidak hanya menjadi bagian dari tugas kelembagaan, tetapi sekaligus menjadi ruang refleksi yang dalam atas peran strategis Aceh dalam sejarah dan perkembangan penyelenggaraan haji di Indonesia. Saat takbir dan talbiyah menggema di Serambi Mekah, hadir pula gema sejarah panjang perhajian bangsa yang berakar kuat dari tanah para syuhada dan ulama ini.
Aceh, yang dijuluki Serambi Mekah, tidak sekadar menyandang gelar simbolik. Julukan tersebut mencerminkan kedalaman tradisi Islam yang hidup dan mengakar di tanah rencong sejak abad-abad awal masuknya Islam ke Nusantara. Dalam konteks ibadah haji, Aceh telah memainkan peran penting sebagai pelabuhan awal keberangkatan jemaah ke Tanah Suci sebelum terbentuknya sistem embarkasi modern. Bahkan, jamaah dari berbagai penjuru Sumatra hingga Asia Tenggara dahulu berkumpul di pelabuhan Ulee Lheue untuk memulai perjalanan suci mereka menuju Haramain.
Sejarah mencatat bahwa ibadah haji di Aceh bukan hanya sebagai ritual individu, tetapi juga sebagai ekspresi peradaban Islam yang aktif: dari pendirian lembaga wakaf khusus untuk haji, sistem pendidikan manasik berbasis dayah, hingga pengiriman ulama dan pelajar ke Makkah dan Madinah. Para haji yang pulang dari Haramain membawa lebih dari sekadar pengalaman spiritual; mereka membawa pulang ilmu, wawasan, dan semangat pembaruan. Mereka menjadi agen perubahan yang memperkuat jalinan keilmuan dan identitas Islam Nusantara.
Kini, ketika penyelenggaraan ibadah haji telah mengalami transformasi melalui teknologi dan tata kelola modern, semangat Aceh dalam memuliakan haji tetap hidup dan relevan. Kehadiran Embarkasi Banda Aceh adalah simbol bahwa pelayanan jemaah tetap menjadi prioritas, khususnya di wilayah paling barat Indonesia. Namun, di tengah kemajuan itu, kita tidak boleh melupakan dimensi spiritual, kultural, dan historis yang membentuk fondasi kuat penyelenggaraan haji di tanah air. Nilai-nilai tersebutlah yang menjadikan jemaah haji Indonesia tak hanya sah secara syariat, tetapi juga membawa pulang kemabruran yang membumi dalam kehidupan sosial.
Melalui artikel ini, penulis ingin mengajak pembaca menelisik kembali akar-akar perhajian di tanah air melalui lensa Serambi Mekah, dan menjadikannya pijakan dalam mewujudkan Tri Sukses Haji: sukses ritual, sukses ekosistem ekonomi, dan sukses keadaban serta peradaban. Dengan menengok sejarah, kita dapat menata masa depan penyelenggaraan haji yang lebih bermakna dan berdampak. Sebagaimana Aceh telah menorehkan teladan, haji adalah perjalanan spiritual yang mengakar pada nilai-nilai luhur, yang membawa pulang bukan hanya kenangan suci, melainkan misi untuk membangun umat dan bangsa.
II. Akar Perhajian Aceh
Akar perhajian Aceh dapat ditelusuri sejak abad ke-16, saat Kesultanan Aceh Darussalam menjelma menjadi pusat peradaban Islam yang berpengaruh di Asia Tenggara. Menurut laporan pelaut dan misionaris Portugis seperti Tomé Pires dalam Suma Oriental, pelabuhan Aceh menjadi salah satu pelabuhan internasional utama, termasuk sebagai titik keberangkatan jemaah haji ke Jeddah. Catatan-catatan Portugis menyebut bahwa masyarakat Aceh sangat menghormati rukun Islam kelima dan menjadikan ibadah haji sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas keislaman mereka. Bahkan, para sultan Aceh memfasilitasi keberangkatan jemaah sebagai bagian dari politik religius mereka untuk memperkuat legitimasi kekuasaan Islam.
Arsip Belanda dari abad ke-17 dan 18, seperti dalam De Reizen der Nederlanders naar de Oost dan laporan VOC, mencatat bahwa pelabuhan Ulee Lheue di Banda Aceh menjadi titik penting keberangkatan kapal jamaah menuju Hijaz. Para jemaah dari seluruh Sumatra, Semenanjung Melayu, hingga Patani dan Kamboja berkumpul di Aceh untuk memulai perjalanan haji bersama. Peran Aceh dalam perhajian diperkuat oleh keberadaan dayah-dayah yang menjadi pusat pendidikan keislaman sekaligus tempat pembinaan fiqh manasik dan adab safar. Dalam Tārīkh Makkah karya al-Azraqī dan Al-Nur al-Sāfir karya al-Sakhawi, tercatat bahwa para ulama Jāwī (sebutan untuk Muslim Asia Tenggara) hadir dan aktif di Haramain, dan banyak dari mereka yang berasal dari Aceh atau menempuh jalur pendidikan di Aceh sebelum berangkat ke Makkah dan Madinah.
Tokoh penting seperti Syekh Abdurrauf as-Singkili menjadi representasi kuat jaringan ini. Ia belajar langsung di Haramain kepada Syekh Ahmad al-Qushāshī dan Syekh Ibrahim al-Kurānī, dua ulama besar yang juga tercatat dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII karya Prof. Azyumardi Azra. Dalam karya tersebut dijelaskan bahwa Syekh Abdurrauf adalah bagian dari network of transmission of Islamic knowledge yang menghubungkan Timur Tengah dan Nusantara, melalui sistem sanad, ijazah, dan pengajaran kitab kuning. Sepulang dari Haramain, ia membangun pusat pendidikan di Aceh yang melahirkan banyak ulama penyebar Islam di berbagai wilayah Indonesia. Haji di sini bukan sekadar ibadah, tetapi sumbu penghubung keilmuan, spiritualitas, dan transformasi sosial.
Literatur Arab seperti Khulāṣat al-Wafā karya al-Samhūdī juga mencatat gelombang besar jamaah asal “bilād al-Jāwī” yang datang ke Makkah, banyak di antaranya membangun wakaf dan ribath (pemondokan) bagi sesama jamaah dari Asia Tenggara. Manuskrip Arab dan risalah perjalanan seperti Rihlat Ibn Jubair dan dokumen kolonial Eropa seperti yang ditulis oleh Valentijn menyebut adanya interaksi intens antara perdagangan dan perhajian. Produk unggulan Aceh seperti lada dan emas menjadi sumber pembiayaan keberangkatan haji. Bahkan, keberangkatan haji secara kolektif dengan model subsidi komunitas atau patronase ulama menunjukkan bahwa perhajian telah menjadi bagian dari etos sosial masyarakat Aceh.
Dengan demikian, akar perhajian Aceh adalah titik temu dari spiritualitas, mobilitas sosial, ekonomi, dan jaringan keilmuan Islam global. Ia bukan sekadar sejarah lokal, tetapi bagian dari konstruksi peradaban Islam dunia, dengan Aceh sebagai simpul penting dalam jaringan ulama dan jamaah dunia Islam. Memahami dan menggali kembali warisan ini sangat penting agar penyelenggaraan haji hari ini tidak terjebak pada dimensi administratif semata, tetapi menyerap spirit peradaban dan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh Serambi Mekah sejak berabad-abad lalu.
III. Aceh dan Arsitektur Pelayanan Haji Masa Kini
Memasuki era modern, Aceh tidak kehilangan perannya sebagai poros penting dalam penyelenggaraan haji Indonesia. Keberadaan Embarkasi Haji Banda Aceh menjadi bukti konkret bahwa Aceh masih menjadi salah satu titik strategis pelayanan haji nasional. Sejak diresmikan, embarkasi ini telah melayani ribuan jamaah haji dari wilayah Aceh secara langsung tanpa harus transit ke provinsi lain. Fasilitas yang terus diperbarui, integrasi layanan yang diperkuat, serta semangat lokal yang tinggi dalam memuliakan jamaah, menjadikan embarkasi ini sebagai wajah pelayanan haji Indonesia di kawasan paling barat Nusantara. Di sinilah sejarah dan masa depan perhajian Indonesia bertemu.
Arsitektur pelayanan haji di Aceh tidak dibangun semata dari infrastruktur fisik, tetapi dari fondasi kolaboratif antara Kementerian Agama, pemerintah daerah, dan masyarakat sipil. Peran aktif pemerintah Aceh dalam mendukung regulasi, anggaran, dan fasilitasi sangat terasa, mulai dari tahap rekrutmen petugas, manasik massal, hingga pengawalan kesehatan dan keberangkatan jemaah. Sinergi antara pemerintah kabupaten/kota dengan Kanwil Kemenag dan Bidang PHU menjadi ekosistem yang memungkinkan penyelenggaraan haji berjalan secara partisipatif dan bermartabat. Kesadaran kolektif ini merupakan modal sosial yang langka dan layak dijadikan model bagi daerah-daerah lain dalam menyusun tata kelola haji berbasis kearifan lokal.
Lebih jauh, dayah (pesantren tradisional Aceh) memainkan peran penting dalam membentuk kesiapan spiritual jemaah. Tradisi pengajian manasik berbasis kitab kuning, tausiyah ulama, hingga pelatihan sabar dan adab safar menjadi pembeda utama yang membuat pembinaan haji di Aceh memiliki dimensi ruhani yang dalam. Tidak sedikit jamaah haji yang berasal dari komunitas dayah merasa lebih siap secara mental dan spiritual karena telah terbiasa dengan laku hidup zuhud, disiplin ibadah, dan sikap tawadhu. Dalam konteks ini, ormas Islam lokal seperti MPU, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah Aceh juga mengambil bagian besar dalam menyiapkan masyarakat yang sadar dan siap berhaji dengan integritas akidah dan akhlak.
Kelembagaan haji di Aceh juga memperlihatkan integrasi antara nilai sejarah dan kemajuan. Sebagian dayah bahkan mulai mengembangkan modul pelatihan haji berbasis digital, tanpa kehilangan kedalaman fiqh dan spiritualitasnya. Perpaduan antara nilai lokal dan teknologi ini menjadi indikator bahwa Aceh mampu menjadi laboratorium pelayanan haji berbasis nilai dan inovasi. Bahkan, dalam beberapa forum nasional, model pembinaan haji Aceh kerap dijadikan rujukan karena mampu menghadirkan pendekatan holistik—menggabungkan fikih ibadah, manajemen perjalanan, dan pembentukan karakter jamaah.
Dengan segala warisan sejarah, kekuatan masyarakat, dan kelembagaan yang hidup, Aceh bukan hanya memainkan peran sebagai penyelenggara haji untuk wilayahnya sendiri, tetapi juga menjadi titik tolak bagi penataan arsitektur perhajian Nusantara ke depan. Ia menunjukkan bahwa keberhasilan penyelenggaraan haji tidak semata diukur dari efisiensi administratif, tetapi dari seberapa kuat nilai keislaman, keindonesiaan, dan kearifan lokal dapat dirajut dalam setiap tahapan ibadah. Dalam hal ini, Serambi Mekah kembali mengajarkan bahwa haji adalah amanah spiritual sekaligus panggilan peradaban.
IV. Relevansi Sejarah untuk Mewujudkan Tri Sukses Haji
1. Sukses Ibadah Ritual
Sejak era Kesultanan Aceh, ibadah haji telah ditempatkan dalam posisi sentral sebagai puncak spiritualitas dan kesalehan sosial umat Islam. Kesultanan di bawah Sultan Iskandar Muda (1607–1636), sebagaimana tercatat dalam Hikayat Aceh dan didukung oleh studi Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara, menjadikan ibadah haji sebagai bagian dari strategi peradaban, di mana para haji menjadi simpul antara masyarakat lokal dan pusat keilmuan Islam di Haramain. Hingga kini, semangat tersebut tetap terjaga dalam arsitektur pembinaan jemaah haji Aceh. Aceh tidak hanya mempersiapkan jamaah secara administratif dan logistik, tetapi lebih dalam lagi—melalui penguatan spiritualitas, akhlak, dan adab yang membentuk kesempurnaan ibadah ritual haji.
Pembinaan manasik berbasis nilai-nilai lokal keislaman Aceh menjadi praktik unggulan yang menonjol. Di banyak kabupaten/kota di Aceh seperti Bireuen, Pidie, dan Aceh Besar, pembinaan manasik dilakukan tidak hanya oleh Kementerian Agama, tetapi juga melibatkan para ulama dayah yang mengajarkan fiqh haji dalam konteks kitab kuning seperti Fath al-Qarib dan Manasik al-Hajj. Misalnya, di Dayah Darussalam Labuhan Haji dan Dayah MUDI Mesra Samalanga, jamaah calon haji mendapatkan pembekalan yang mencakup tidak hanya rukun dan wajib haji, tetapi juga nilai-nilai maqasid syariah dalam haji: penyucian niat, menjaga kesabaran, serta membangun kesadaran kolektif sebagai tamu Allah. Tradisi lokal seperti peusijuek—ritual doa keberangkatan yang dilakukan oleh tokoh adat dan ulama—menguatkan kesan bahwa haji adalah ibadah yang penuh tanggung jawab sosial dan sakralitas spiritual.
Pendekatan spiritual yang mengakar dari tradisi tarekat dan ulama dayah juga menjadi elemen distingtif dalam pembinaan haji Aceh. Tarekat-tarekat seperti Naqsyabandiyah Khalidiyah dan Syattariyah, yang masih hidup di banyak wilayah Aceh, menempatkan haji sebagai puncak perjalanan ruhani setelah zikir, suluk, dan riyadah. Di beberapa dayah, seperti Dayah Ruhul Islam Anak Bangsa, calon jemaah haji mengikuti ziarah maqbarah ke makam para ulama sebagai bagian dari tazkiyatun nafs, sebelum menunaikan ibadah haji. Pengalaman ini tidak hanya membentuk kerendahan hati, tetapi juga memperkuat kesadaran akan pentingnya menjaga niat dan adab dalam setiap rangkaian manasik. Hal ini sesuai dengan pandangan ulama Haramain, seperti Syekh Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani, bahwa haji yang mabrur adalah yang berdampak pada perubahan batin dan amal sosial.
Sebagaimana dinyatakan dalam laporan evaluasi haji Kanwil Kemenag Aceh tahun 2023, salah satu indikator keberhasilan pembinaan manasik di Aceh adalah tingkat pelanggaran ritual yang rendah dan kepatuhan jemaah terhadap protokol ibadah di Tanah Suci yang sangat tinggi. Jemaah Aceh dikenal rapi, disiplin, dan fokus pada ibadah. Nilai-nilai ini merupakan buah dari proses pembinaan yang tidak hanya bersandar pada regulasi formal, tetapi juga pada warisan nilai. Oleh karena itu, pendekatan Aceh dalam memadukan fiqh, tarekat, dan nilai lokal keislaman dapat dijadikan model nasional dalam mewujudkan sukses ritual sebagai bagian pertama dari Tri Sukses Haji. Dari Serambi Mekah, kita belajar bahwa ibadah haji bukan hanya amal individu, tetapi konstruksi spiritual yang menyatu dengan sejarah, budaya, dan cita-cita peradaban Islam.
2. Sukses Ekosistem Ekonomi Haji
Aceh sejak masa klasik telah memainkan peran vital dalam jaringan ekonomi haji, menjembatani arus manusia dan barang antara Asia Tenggara dan Jazirah Arab. Pelabuhan Ulee Lheue di Banda Aceh bukan hanya menjadi tempat persinggahan para jemaah haji, tetapi juga pusat perdagangan rempah-rempah seperti lada, kapur barus, serta hasil bumi unggulan lainnya. Catatan François Valentijn dan misionaris Portugis menegaskan bahwa aktivitas dagang dan keberangkatan haji dari Aceh saling terkait erat. Para jemaah sering kali membiayai perjalanan mereka dari hasil perdagangan atau dukungan pedagang besar, sehingga lahirlah ekosistem yang menyatukan ibadah dan ekonomi. Relasi ini bahkan menghasilkan kontribusi konkret di Tanah Suci, seperti pendirian rumah singgah dan fasilitas wakaf.
Salah satu contoh nyata dan monumental dari integrasi ekonomi dan ibadah haji adalah Wakaf Habib Bugak di Makkah. Habib Abdurrahman al-Bugak, seorang saudagar dermawan asal Aceh, mewakafkan hartanya untuk membangun rumah penginapan bagi jemaah haji asal Aceh di sekitar Masjidil Haram. Wakaf ini hingga kini masih dikelola dan menjadi bukti nyata bagaimana masyarakat Aceh tidak hanya berangkat haji secara fisik, tetapi juga meninggalkan jejak ekonomi dan sosial yang berkelanjutan bagi generasi sesudahnya. Wakaf tersebut menunjukkan bahwa haji bisa menjadi katalisator pembangunan ekonomi berbasis umat dan bernilai abadi.
Dalam konteks kekinian, semangat membangun ekosistem ekonomi haji seperti yang dicontohkan Habib Bugak masih sangat relevan dan bahkan kian mendesak untuk dihidupkan kembali. Produk-produk khas Aceh seperti kopi arabika Gayo, rempah-rempah, madu hutan, dan herbal tradisional memiliki potensi tinggi di pasar global dan cocok untuk mengisi rantai pasok logistik haji—baik sebagai konsumsi jamaah, oleh-oleh khas, maupun komoditas ekspor dalam skema penguatan ekonomi syariah. Pemerintah daerah dan Badan Penyelenggara Haji dapat bersinergi dengan pelaku UMKM, koperasi pesantren, dan lembaga keuangan syariah untuk memperkuat sertifikasi halal, standarisasi mutu, dan akses ke pasar Timur Tengah.
Lebih jauh, penguatan ekosistem ekonomi haji dari Aceh dapat menjadi bagian dari strategi nasional dalam membangun kemandirian logistik dan diplomasi ekonomi halal. Melalui kerja sama dengan BUMN logistik dan Badan Penyelenggara Haji, rantai distribusi produk lokal bisa disusun secara sistematis—dari pengadaan di pesantren dan desa, distribusi ke embarkasi, hingga pemanfaatan di Tanah Suci. Dengan menghidupkan kembali spirit dagang-jamaah seperti pada era Habib Bugak, Aceh dapat kembali menjadi simpul penting dalam mewujudkan sukses kedua dari Tri Sukses Haji: terciptanya ekosistem ekonomi haji yang produktif, berkelanjutan, dan menyejahterakan umat. Dari Aceh, kita belajar bahwa haji bukan hanya perjalanan spiritual, tetapi juga kesempatan untuk membangun kekuatan ekonomi yang berpihak pada kemaslahatan bersama.
3. Sukses Keadaban dan Peradaban
Salah satu fondasi penting dalam membangun peradaban Islam adalah haji yang berdampak pada akhlak dan kontribusi sosial. Di Aceh, keberangkatan haji bukan hanya dipandang sebagai pemenuhan rukun Islam kelima, tetapi juga sebagai proses pematangan pribadi menuju kemuliaan akhlak dan tanggung jawab sosial. Gelar “Haji” di Aceh secara kultural melekat pada sosok yang tidak hanya telah menunaikan ibadah fisik, tetapi juga telah mengalami transformasi nilai. Masyarakat secara otomatis menaruh harapan kepada seorang haji untuk menjadi teladan, pemimpin informal, atau bahkan penyambung aspirasi umat. Inilah mengapa proses pembinaan pasca-haji juga menjadi penting. Banyak alumni haji Aceh yang secara sukarela membentuk kelompok pengajian, menjadi penggerak masjid, hingga terlibat dalam dakwah di kampung halamannya. Dari pengalaman spiritual di Tanah Suci, mereka membawa pulang inspirasi untuk memperbaiki diri dan lingkungannya, menjadikan haji sebagai gerakan budaya yang menumbuhkan keadaban publik.
Karakter jamaah haji Aceh dikenal luas sebagai sosok yang santun dalam bertindak, tenang dalam menghadapi ujian, dan bersahaja dalam beribadah. Hal ini tidak terjadi secara kebetulan, tetapi merupakan hasil dari proses panjang internalisasi nilai adab dan akhlak dalam tradisi pendidikan dayah dan lingkungan sosial Aceh yang Islami. Dalam banyak evaluasi penyelenggaraan haji, petugas mencatat bahwa jamaah Aceh termasuk yang paling patuh terhadap aturan, tidak banyak menuntut, dan menjaga keharmonisan antarkelompok. Bahkan dalam konteks multi-etnis dan keragaman kloter, jamaah Aceh kerap menjadi penyejuk dan penengah bila terjadi konflik kecil. Nilai-nilai ini sejalan dengan maqasid al-hajj, yaitu menjadikan ibadah haji sebagai momen untuk meneguhkan kemanusiaan, menjauhkan diri dari kezaliman, dan memperkuat ukhuwah Islamiyah. Inilah manifestasi nyata dari keadaban: ketika haji tidak hanya membentuk pribadi shaleh, tetapi juga memperkuat simpul sosial dalam masyarakat.
Lebih jauh, sukses haji dari aspek keadaban dan peradaban dapat menjadi jembatan untuk memperkuat modal sosial bangsa dan memperluas pengaruh peradaban Islam Nusantara yang toleran, damai, dan pro-kemanusiaan. Sejarah mencatat bagaimana para haji dari Aceh menjadi pelopor pergerakan pendidikan dan sosial—seperti yang dilakukan oleh para alumni Haramain yang mendirikan dayah, madrasah, hingga gerakan sosial berbasis keagamaan. Saat ini, tantangan peradaban kita adalah mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dalam kebijakan publik, dalam ekosistem sosial yang kompleks, serta dalam narasi keagamaan yang lebih merangkul dan solutif. Dalam konteks inilah, karakter jamaah haji Aceh menjadi model penting: menunjukkan bahwa haji yang mabrur bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan awal dari keterlibatan aktif dalam membangun masyarakat yang beradab dan berkemajuan. Maka, sukses haji tidak berhenti di Makkah atau Madinah, tetapi terus menyala di kampung halaman sebagai cahaya yang menuntun umat ke arah peradaban yang lebih mulia.
V. Penutup: Mewarisi Spirit Serambi Mekah untuk Haji Berdampak
Serambi Mekah bukan sekadar julukan geografis bagi Aceh, melainkan manifestasi dari peran historis, kultural, dan spiritual Aceh dalam menghidupkan denyut Islam di Nusantara. Dalam konteks penyelenggaraan haji, warisan Aceh sungguh luar biasa: dari pelabuhan tempat jemaah dahulu bertolak ke Hijaz, hingga lahirnya ulama-ulama besar yang menjalin sanad ilmu dengan Haramain, serta masyarakat yang menjaga adab dan akhlak haji sebagai bagian dari identitas kolektif. Kesemua itu merupakan modal sejarah yang sangat berharga di tengah arus modernisasi penyelenggaraan haji yang rawan kehilangan kedalaman makna.
Kini, di tengah upaya membangun penyelenggaraan haji yang berdampak, Aceh sepatutnya tidak hanya diposisikan sebagai bagian dari sejarah perhajian Indonesia, tetapi sebagai rujukan nasional dan model inspiratif dalam mewujudkan Tri Sukses Haji: sukses ritual, sukses ekosistem ekonomi, dan sukses keadaban serta peradaban. Dari pembinaan manasik berbasis kitab kuning dan nilai tarekat, hingga kontribusi ekonomi melalui komoditas lokal seperti kopi dan herbal, serta karakter jemaah yang santun dan kontributif setelah pulang berhaji—Aceh menawarkan contoh konkret bahwa haji bukan hanya soal perjalanan ke Makkah, melainkan juga soal membangun masa depan umat dan bangsa.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita menghidupkan kembali semangat perhajian Aceh sebagai energi kolektif untuk memperkuat jati diri perhajian nasional. Haji yang berdampak haruslah lahir dari proses yang berakar pada nilai, terarah oleh visi pelayanan, dan tumbuh dari semangat membangun peradaban. Serambi Mekah telah membuktikan bahwa haji dapat menjadi wahana pembentukan pribadi dan masyarakat unggul. Maka dari Aceh, kita bisa merancang arah baru: haji yang mencerahkan, memberdayakan, dan menyatukan. Inilah optimisme kita, dan inilah harapan besar kita: menjadikan penyelenggaraan haji sebagai jalan ibadah yang memuliakan umat dan mengangkat marwah bangsa di hadapan dunia.
(*/TRN).
Team Media Center Wagub Aceh
Proyeksi : Artikel
Atensi : Ustaz Nazaruddin LC
Komentar0